Nilai Sakral Hubungan Seksual
Senin, 19 September 2011 by ilyasabdulghani
Nilai Sakral Hubungan Seksual, tapi sebelum penjelasan saya menitip link untuk mengikuti kontes dengan kata kunci Mobil Keluarga Terbaik Di Indonesia , Mengapa diharuskan mandi untuk bersuci dari janabah, padahal Anda menegaskan bahwa Islam memandang seks sebagai hal yang alami dan tidak ada unsur penghinaan di dalamnya? Bukankah praktek itu menunjukkan sikap negatif yang terselubung?
Nilai Sakral Hubungan Seksual, Masalah bersuci setelah huhungan seksual sempurna yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, atau setelah keluarnya mani melalui istimna tidak disehahkan oleh kekotoran huhungan seksual. Kewajihan bersuci setelah janabah adalah karena ia merupakan najasah yang membebani roh; manusia perlu bersuci darinya agar ia keluar (bebas) dari najasah.
Sesungguhnya janabah tidak menajiskan badan, namun benda yang keluar dari seorang lelaki itulah yang najis persis sehagaimana keadaan buang air kecil. Oleh karena itu, dari sisi kenajisan fisik ( an-najasah al-jasadiyyah) , kenajisan tersebut tidak mengenai badan secara keseluruhan pada saat terjadi janabah. Badan tetap suci kecuali tempat keluarnya janabah itu. Dan seseorang bisa saja menyucikan tempat ini dengan cara yang biasa seperti ketika ia menyucikan badannya ketika terkena najis apa pun. Tetapi, masalah bersuci dari janabah mengandung dimensi mistik (al-bu'd al-iyhaiy), karena ia janabah menggoncangkan keseluruhan badan pada saat keluarnya dari badan, berbeda dengan benda-benda lain yang keluar darinya. Ada perbedaan antara benda yang keluar pada saat buang air kecil yang keluar dari badan secara alami tanpa disertai gerakan seluruh badan pada saat keluarnya dan mani yang keluar setelah hubungan seksual, baik dilakukan sendirian atau dengan mitra, yang dengannya keseluruhan badan tergoncang. Dengan demikian, janabah keluar dari seluruh badan, meskipun pada akhirnya diungkapkan dengan keluar dari tempat terbatas (tertentu). Selanjutnya, janabah membawa pengaruhnya atas seluruh badan. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan bersuci (thaharah) ini dalam rangka memperoleh dua tujuan:
Pertama, membebaskan manusia dari perasaan yang tidak alami ini yang berupa rangsangan seks yang dirasakannya ketika melakukan hubungan seks, dan sekanakan keluarnya kotoran dari badan manusia setelahnya menjadikan seks terwarnai oleh dimensi spiritual yang mengungguli dimensi materinya. Oleh karena itu, janabah dinamakan dengan hadas besar (al-hadast al- akbar) , bukan hadas kecil (al-hadast al-asghar) seperti tidur dan kencing. Sebab, ia merupakan hadas yang menggerakkan seluruh badan, yang seakan-akan menjadikan manusia merasa kotor meskipun dari sisi tabiat benda yang keluar (mani). Maka masalah ini terkait dengan masalah rohani yang mistik (mas 'alah ruhiyyah iyhaiyyah) .
Kedua, Islam ingin menciptakan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh kesucian fisik. Bersuci (thaharah) merupakan bagian dari syariat yang Allah menginginkan agar manusia memperluas ruang lingkup rohani dari syariat tersebut. Oleh karena itu, thaharah bukan hanya persoalan menghilangkan kotoran, tetapi "memenuhi" rohani (dengan amalan-amalan yang menerangi rohani-pent.). Oleh karena itu, ketika manusia melakukan mandi janabah disyaratkan agar ia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah; hal yang menjadikan mandi ini mempunyai nilai ibadah, dan mengisyaratkan bahwa Islam menganggap thaharah sebagai ibadah dan kebersihan, yang melaluinya manusia berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt, dan sebaliknya, ia (Islam) menunjukkan bahwa kekotoran merupakan hal yang menjauhkan manusia dari Allah swt.
Apakah kita dapat menganggap bahwa thaharah merupakan usaha untuk memisahkan rohani dari fisik?
Mandi adalah usaha untuk memberi dimensi rohani pada sesuatu yang materi, agar yang bersangkutan terhindar dari perkara-perkara yang materi, yang membawa pengaruh tertentu di badan dan mengandung dampak-dampak negatif atas perasaan manusia
Mengingatkan sebagai bahan optimasi kata kunci kontes seo : " Tablet Android Honeycomb Terbaik Murah " dari World News Today
Nilai Sakral Hubungan Seksual, Masalah bersuci setelah huhungan seksual sempurna yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, atau setelah keluarnya mani melalui istimna tidak disehahkan oleh kekotoran huhungan seksual. Kewajihan bersuci setelah janabah adalah karena ia merupakan najasah yang membebani roh; manusia perlu bersuci darinya agar ia keluar (bebas) dari najasah.
Sesungguhnya janabah tidak menajiskan badan, namun benda yang keluar dari seorang lelaki itulah yang najis persis sehagaimana keadaan buang air kecil. Oleh karena itu, dari sisi kenajisan fisik ( an-najasah al-jasadiyyah) , kenajisan tersebut tidak mengenai badan secara keseluruhan pada saat terjadi janabah. Badan tetap suci kecuali tempat keluarnya janabah itu. Dan seseorang bisa saja menyucikan tempat ini dengan cara yang biasa seperti ketika ia menyucikan badannya ketika terkena najis apa pun. Tetapi, masalah bersuci dari janabah mengandung dimensi mistik (al-bu'd al-iyhaiy), karena ia janabah menggoncangkan keseluruhan badan pada saat keluarnya dari badan, berbeda dengan benda-benda lain yang keluar darinya. Ada perbedaan antara benda yang keluar pada saat buang air kecil yang keluar dari badan secara alami tanpa disertai gerakan seluruh badan pada saat keluarnya dan mani yang keluar setelah hubungan seksual, baik dilakukan sendirian atau dengan mitra, yang dengannya keseluruhan badan tergoncang. Dengan demikian, janabah keluar dari seluruh badan, meskipun pada akhirnya diungkapkan dengan keluar dari tempat terbatas (tertentu). Selanjutnya, janabah membawa pengaruhnya atas seluruh badan. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan bersuci (thaharah) ini dalam rangka memperoleh dua tujuan:
Pertama, membebaskan manusia dari perasaan yang tidak alami ini yang berupa rangsangan seks yang dirasakannya ketika melakukan hubungan seks, dan sekanakan keluarnya kotoran dari badan manusia setelahnya menjadikan seks terwarnai oleh dimensi spiritual yang mengungguli dimensi materinya. Oleh karena itu, janabah dinamakan dengan hadas besar (al-hadast al- akbar) , bukan hadas kecil (al-hadast al-asghar) seperti tidur dan kencing. Sebab, ia merupakan hadas yang menggerakkan seluruh badan, yang seakan-akan menjadikan manusia merasa kotor meskipun dari sisi tabiat benda yang keluar (mani). Maka masalah ini terkait dengan masalah rohani yang mistik (mas 'alah ruhiyyah iyhaiyyah) .
Kedua, Islam ingin menciptakan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh kesucian fisik. Bersuci (thaharah) merupakan bagian dari syariat yang Allah menginginkan agar manusia memperluas ruang lingkup rohani dari syariat tersebut. Oleh karena itu, thaharah bukan hanya persoalan menghilangkan kotoran, tetapi "memenuhi" rohani (dengan amalan-amalan yang menerangi rohani-pent.). Oleh karena itu, ketika manusia melakukan mandi janabah disyaratkan agar ia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah; hal yang menjadikan mandi ini mempunyai nilai ibadah, dan mengisyaratkan bahwa Islam menganggap thaharah sebagai ibadah dan kebersihan, yang melaluinya manusia berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt, dan sebaliknya, ia (Islam) menunjukkan bahwa kekotoran merupakan hal yang menjauhkan manusia dari Allah swt.
Apakah kita dapat menganggap bahwa thaharah merupakan usaha untuk memisahkan rohani dari fisik?
Mandi adalah usaha untuk memberi dimensi rohani pada sesuatu yang materi, agar yang bersangkutan terhindar dari perkara-perkara yang materi, yang membawa pengaruh tertentu di badan dan mengandung dampak-dampak negatif atas perasaan manusia
Mengingatkan sebagai bahan optimasi kata kunci kontes seo : " Tablet Android Honeycomb Terbaik Murah " dari World News Today
Komentar :
Posting Komentar