Minggu, 14 Agustus 2011

Tiga Derajat Ikhlas

Tiga Derajat Ikhlas
1.Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal, dan tidak puas terhadap amal.

Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya. Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadanya. Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagaimana firmannya, "Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rab semesta alam." (At-Takkwir: 29).

Tiga Derajat Ikhlas, Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya. Allah SWT berfirman, "Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nur: 21). Semua kebaikan hamba semata karena karunia Allah. Pandangan hamba terhadap amalnya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua karena pemberian, karunia, dan rahmat Allah.

Dengan demikian, yang membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabnya dan juga mengetahui dirinya sendiri. Adapun yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amalnya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata. Dan, yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amalnya ada dua macam.
a. Memperhatikan aib, cela, dan kekurangannya di dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian setan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan setan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi saw. pernah ditanya tentang orang yang menengok saat mendirikan salat. Beliau menjawab, "Itu adalah rampasan yang diambil setan dari salat hamba." Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian setan lebih banyak lagi.

b. Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adab-adab zahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu. Orang yang memiliki makrifat ialah yang tidak rida sedikit pun terhadap amalnya dan merasa malu jika Allah menerima amalnya.

2. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha; berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian; dan memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah.

Hamba merasa malu kepada Allah karena merasa bahwa almalnya belum layak dilakukan karena Allah, tetapi amal itu tetap diupayakan. Allah SWT berfirman, "Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tidak tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rab mereka." (Al-Mukminin). Rasulullah saw. menjelaskan ayat tersebut dengan bersabda, "Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan salat, mengeluarkan sedekah, dan dia takut amal-amalnya tidak diterima."

Adapun maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah adalah bahwa dengan cahaya itu engkau bisa mengetahui bahwa amalmu semata karena karunia Allah dan bukan karena dirimu sendiri. Derajat ini mencakup lima perkara: amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

3. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal; membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu; tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.

Perkatan "memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal" ditafsirkan dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah. Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menurut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari.

Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tidak sedikit pun lepas dari kehendak Allah.

Dengan demikian, seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara. Pertama, perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus dikerjakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, qadha' dan qadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian, dan hakikat. Dengan begitu dia bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, "Alquran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rab semesta alam." (At-Takwir: 28--29).

Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari firman Allah, "Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus," sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, "Kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah." Tentang perkataan membebaskan amal dari sentuhan rupa" artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena, apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja. (Abu Annisa)

Komentar :

ada 0 komentar ke “Tiga Derajat Ikhlas”

Posting Komentar

Followers

Jadwal Sholat

Prayer Times For 6 Million Cities Worldwide
Country:

Total Tayangan Halaman

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Word News Today