Usia Pernikahan
Senin, 19 September 2011 by ilyasabdulghani
Usia Pernikahan, tapi sebelum penjelasan saya menitip link untuk mengikuti kontes dengan kata kunci Mobil Keluarga Terbaik Di Indonesia , Berapa usia menikah yang ditentukan oleh Islam?
Usia Pernikahan, Tidak ada usia menikah yang ditentukan dalam syariat. Maka boleh menikahkan anak laki-laki kecil atau anak perempuan kecil di usia dini.
Tidakkah penegasan pernikahan sebagai suatu lembaga yang untuk kesuksesannya membutuhkan suatu kecakapan rasional dan kesadaran yang tinggi bertentangan dengan anjuran menikah sedini mungkin, di mana pada usia dini itu kedua pasangan belum dibekali kematangan berpikir yang cukup?
Realitas pernikahan itu mempunyai dua fungsi: pertama, membentengi pemuda atau pemudi dari penyimpangan, karena pernikahan tersebut dapat mewujudkan bagi mereka kesempatan untuk memuaskan kebutuhan seksual, yang mana dorongannya akan menciptakan khususnya pada masa remaja (puberitas) bahaya nyata atas kepolosan mereka berdua.
Kedua, pembentukan keluarga; hal yang menuntut adanya kesadaran akan kehidupan berumah tangga bagi suami-istri dan tanggung jawab-tanggung jawab berupa hak-hak dan kewajiban- kewajiban timbal-balik, baik antara suami dan istri, atau antara mereka dengan anak-anak mereka.
Sebagaimana ia (pembentukan keluarga) juga menuntut adanya pengetahuan tentang cara mengurusi lembaga ini (keluarga) dan menertibkan serta mengatur urusan-urusannya, keadaan-keadaannya, dan pelbagai kebutuhan-kebutuhannya.
Karena itu, ketika Islam menganjurkan pernikahan sedini mungkin, maka ia telah menjaga sisi yang pertama. Yakni, Islam melindungi manusia dari penyimpangan yang terkadang timbul karena reaksi gejolak kebutuhan naluri seksual, dan ia mengarah kan pemuasan naluri tersebut melalui jalan yang alami dan sah (syar'i). Islam menjaga kedua pasangan (pemuda-pemudi) dari keterperosokan ke dalam cara-cara yang ekstrem, yang akan memunculkan pelbagai problem psikologis dan praktis dalam kehidupan manusia, di antaranya dengan melakukan tindakan penyimpangan dari tabiat manusia dan menjungkirbalikkannya melalui cara mencekiknya dan menguburnya.
Posisi Islam dalam masalah pernikahan sama dengan posisinya dalam masalah-masalah yang lain, yang bertitik tolak dari usaha untuk memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Yakni dengan pengakuan akan kebutuhan-kebutuhan manusia yang ..dititipkan" oleh Sang Pencipta (Allah) di dalamnya untuk tujuan- tujuan yang baik, dan sebagian besar yang diusahakan Islam adalah mengatur cara pemuasannya dan pemenuhannya melalui cara- cara yang lurus dan sarana-sarana yang sehat, sehingga manusia tidak terjerumus antara batas ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kealpaan).
Tak syak lagi, pernikahan merupakan jalan yang tepat dan sarana yang alami untuk memenuhi kebutuhan seksual pada ke- dua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Dan tak syak juga bahwa pemenuhan hajat ini pada saat lapar yang luar biasa pasti akan lebih menuntut, karena rasa lapar biasanya akan menguasai dan menawan manusia, yang terkadang akan menjerumuskannya ke dalam cara-cara yang menyimpang dan jalan-jalan yang terjal lagi berliku. Ketika manusia "diberontak" oleh rasa lapar, maka pertama- tama dia harus menenangkan rasa laparnya, baik suasana saat dia ingin memakan makanan mendukung atau tidak begitu mendukung, karena rasa lapar tidak dapat ditunda-tunda (harus segera dipuaskan dengan makanan-pent.). Dan dalam banyak kesempatan, pemenuhan kebutuhan seksual jauh mendahului hal-hal lain yang manusia memimpikan untuk memperolehnya pada saat pemuasan kebutuhan itu.
Karena itu, maka pernikahan merupakan solusi yang akan melindungi manusia dari penyimpangan, baik dia mencapai masa kematangan atau tidak, karena manusia terkadang tidak mampu menunggu terkumpulnya dua hal itu karena suatu sebab atau yang lain.
Adapun pernikahan dini yang menurut sebagian orang membawa dampak negatif bagi kehidupan kedua pasangan, karena ketika mereka memasuki kehidupan berumah tangga tidak dibekali pengalaman yang dengannya mereka dapat membangun suatu fondasi untuk gerakan mereka, hubungan mereka, dan proses kesempurnaan di antara mereka, sehingga pernikahan tersebut terkadang gaga1 dan banyak menimbulkan problem bagi kedua pasangan, maka itu suatu celah yang dapat ditutup melalui permintaan bantuan dari pihak keluarga untuk mengarah- kan mereka dan mengawasi gerak-gerik mereka dalam eksperimen ini. Jika hal ini terwujud, boleh jadi mereka akan melalui eksperimen kehidupan berumah tangga yang sukses.
Mengapa Islam tidak mensyaratkan usia kematangan (sinn ar-rusyd) dalam pernikahan, di mana kedua pasangan (pemuda-pemudi) telah mencapai kematangan hidup yang cukup, sehingga mereka dapat mengemban tanggung jawab kehidupan bersama dengan baik?
Sesungguhnya masa1ah kematangan tidak berhubungan dengan usia tententu. Barangkali pemuda atau pemudi mencapai usia kematangan secara undang-undang, yaitu usia 18 tahun, sesuai dengan undang-undang sipil, namun saat itu kedua pasangan belum memperoleh kesadaran tentang kehidupan berumah tangga dan cara menghindari pelbagai problem. Sebagaimana bisa saja dapat disediakan bagi mereka kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka-melaluinya-untuk mensukseskan kehidupan berumah tangga mereka. Oleh karena itu, seandainya kita bersandar kepada usia kematangan yang diharuskan oleh undang-undang untuk mengesahkan pernikahan antara dua orang, maka hal itu tidak merupakan jaminan keberhasilan suatu pernikahan, karena kehidupan berumah tangga pasti memuat banyak kerumitan yang untuk menghadapinya perlu ditunjang adanya para pengawas baik dari dalam lingkungan keluarga atau di luarnya. Mereka (para pengawas) itu membimbing suami-istri dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana mereka mengawasi perjalanan hubungan antara kedua pasangan.
Apabila pernikahan dini dibenarkan karena alasan untuk melindungi manusia dari penyimpangan, maka apakah ia tetap dibenarkan dengan adanya speku1asi mengenai masa depan anak-anak yang lahir darinya, yang merupakan akibat dari ketidakmatangan kedua pasangan sehingga mereka menjadi korban dari eksperimen itu?
Pernikahan dini tidak harus berakibat jatuhnya korban-korban, karena pernikahan tersebut dapat terlaksana di bawah pengawasan kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Seandainya suami dan istri tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan urusan-urusan mereka secara lazim, maka kedua pasangan setelah pernikahan-bisa tetap berada di bawah penjagaan kedua keluarga mereka. Demikianlah, anak-anak yang lahir dari pernikahan prematur, hendaklah tetap berada di bawah pengawasan keluarga orang tua mereka dan tetap berada di dalam lingkungan keluarga. Perihal meminta bantuan kepada pihak keluarga suami-istri untuk mengawasi anak-anak juga terjadi pada pernikahan-pernikahan biasa (tidak prematur), sebagaimana terjadi ketika suami-istri tidak mampu memikul tanggung jawab anak- anak mereka berdua karena adanya sebagian keadaan yang khusus.
Apakah mengorbankan syahwat (seks) lebih utama daripada berspekulasi dengan pendidikan anak-anak?
Pendidikan anak tidak bertentangan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Tujuan dari pernikahan dini adalah menjaga manusia dari penyimpangan dan bukan hanya sekadar pemuasan syahwat, dan ia tidak berlawanan dengan pendidikan yang sehat bagi anak-anak. Maka, orang-orang yang memilih pernikahan dini hendaklah memperhatikan tanggung jawab-tanggung jawab yang dihasilkannya, di antaranya pendidikan anak-anak. Apabila mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu mengemban tanggung jawab pendidikan anak, maka hendaklah mereka membekukan rencana kelahiran anak untuk masa tertentu. Kalau tidak, hendaklah mereka mengorbankan keinginan untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka, atau mereka mempelajari sarana-sarana yang memadai untuk menutup kekurangan ini pada lingkungan keluarga mereka masing-masing.
Islam mendorong terlaksananya pernikahan sedini mungkin, lalu sebaliknya, bagaimana sikapnya terhadap penundaan pernikahan?
Pernikahan merupakan sunatullah yang manusia diciptakan berdasarkannya agar eksperimen kemanusiaanya menjadi sempurna dan kaya dengannya. Pernikahan menjamin-pada tingkat individual-kesatuan emosional, jasadi, dan rohani terhadap orang lain, dan memberinya ketenteraman (as-sakinah) dan ketenangan ( ath-thuma 'ninah) sebagai akibat dari itu, serta memberinya kesempatan turut serta dalam membangun struktur masyarakat yang dia bergabung dengannya dan menyatu di dalamnya. Di samping itu, pernikahan adalah sel sosial dalam jalinan sosial yang umum. Oleh karena itu, meskipun tidak merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu ( wajib 'aint) , namun ia adalah sunah yang betul-betul ditekankan (sunnah muakkadah). Hendaklah manusia tidak meninggalkan pernikahan (tidak mau menikah) atau menunda-nundanya secara emosional, karena hal itu akan mencegahnya dari perolehan sumbangan-sumbangan (hal-hal positif) pernikahan dan akan membawa pengaruh negatif atasnya.
Orang yang menunda-nunda perkawinan akan mengalami problem pendidikan anak yang lahir pada masa tuanya, karena dia tidak mampu untuk mengawasi mereka dengan baik, dan dia akan mengalami ketandusan emosional (cinta) dalam hidupnya sebagai konsekuensi dari kehidupan rumah tangga yang ditinggalkannya dan dia tidak akan merasakan-sebagai pengaruh dari pernikahan-kesuburan rohani, jasadi, dan hayati. Sesungguhnya kerugian yang diderita manusia sebagai akibat dari penundaan masa pernikahan atau pencegahan darinya secara keseluruhan jauh lebih besar daripada keuntungan yang bakal diperolehnya di belakang praktek itu, baik itu karena alasan aspek keuangan atau karena alasan untuk meringankan tanggung jawab-tanggung jawab, yang terakhir ini acapkali didengungkan oleh orang-orang yang menunda-nunda pernikahan.
Manusia diciptakan-berdasarkan fitrah-untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan fisik yang ada pada orang lain. Kebutuhan ini menuntutnya untuk memilih teman hidup yang khusus, yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhannya akan perserikatan (kemitraan), dan meringankan darinya perasaan asing dari lingkungannya.
Sesungguhnya pemikulan tanggung jawab dalam kehidupan bukanlah hal yang tercela. Pada saat tanggung jawab tersebut mengambil sedikit dari waktu dan usaha manusia, maka sebagai gantinya, dia diberi dari dirinya sendiri dan dari pasangan hidupnya hal-hal yang jauh lebih besar dan lebih penting. Jadi, Allah swt menginginkan agar kita menjalankan tanggung jawab kita terhadap diri kita melalui potensi-potensi yang diberikan-Nya kepada kita, dan terhadap orang-orang lain yang kehidupan mereka berkaitan dengan kehidupan kita. Manusia dituntut untuk terbuka terhadap Allah, supaya seluruh kehidupan terbuka di hadapannya dan dia tidak terkena "gangguan" rasa putus asa dalam hidupnya. Hendaklah manusia melihat sisi realitas dalam setiap problem yang dilaluinya dan hendaklah dia tidak tenggelam dalam khayalan dan perasaan yang negatif, dan hendaklah dia berusaha memecahkan masalah yang dihadapinya secara realistis. Sebab, tidak ada persoalan yang tak bisa dipecahkan
Mengingatkan sebagai bahan optimasi kata kunci kontes seo : " Mobil Keluarga Terbaik Di Indonesia " dari World News Today
Usia Pernikahan, Tidak ada usia menikah yang ditentukan dalam syariat. Maka boleh menikahkan anak laki-laki kecil atau anak perempuan kecil di usia dini.
Tidakkah penegasan pernikahan sebagai suatu lembaga yang untuk kesuksesannya membutuhkan suatu kecakapan rasional dan kesadaran yang tinggi bertentangan dengan anjuran menikah sedini mungkin, di mana pada usia dini itu kedua pasangan belum dibekali kematangan berpikir yang cukup?
Realitas pernikahan itu mempunyai dua fungsi: pertama, membentengi pemuda atau pemudi dari penyimpangan, karena pernikahan tersebut dapat mewujudkan bagi mereka kesempatan untuk memuaskan kebutuhan seksual, yang mana dorongannya akan menciptakan khususnya pada masa remaja (puberitas) bahaya nyata atas kepolosan mereka berdua.
Kedua, pembentukan keluarga; hal yang menuntut adanya kesadaran akan kehidupan berumah tangga bagi suami-istri dan tanggung jawab-tanggung jawab berupa hak-hak dan kewajiban- kewajiban timbal-balik, baik antara suami dan istri, atau antara mereka dengan anak-anak mereka.
Sebagaimana ia (pembentukan keluarga) juga menuntut adanya pengetahuan tentang cara mengurusi lembaga ini (keluarga) dan menertibkan serta mengatur urusan-urusannya, keadaan-keadaannya, dan pelbagai kebutuhan-kebutuhannya.
Karena itu, ketika Islam menganjurkan pernikahan sedini mungkin, maka ia telah menjaga sisi yang pertama. Yakni, Islam melindungi manusia dari penyimpangan yang terkadang timbul karena reaksi gejolak kebutuhan naluri seksual, dan ia mengarah kan pemuasan naluri tersebut melalui jalan yang alami dan sah (syar'i). Islam menjaga kedua pasangan (pemuda-pemudi) dari keterperosokan ke dalam cara-cara yang ekstrem, yang akan memunculkan pelbagai problem psikologis dan praktis dalam kehidupan manusia, di antaranya dengan melakukan tindakan penyimpangan dari tabiat manusia dan menjungkirbalikkannya melalui cara mencekiknya dan menguburnya.
Posisi Islam dalam masalah pernikahan sama dengan posisinya dalam masalah-masalah yang lain, yang bertitik tolak dari usaha untuk memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Yakni dengan pengakuan akan kebutuhan-kebutuhan manusia yang ..dititipkan" oleh Sang Pencipta (Allah) di dalamnya untuk tujuan- tujuan yang baik, dan sebagian besar yang diusahakan Islam adalah mengatur cara pemuasannya dan pemenuhannya melalui cara- cara yang lurus dan sarana-sarana yang sehat, sehingga manusia tidak terjerumus antara batas ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kealpaan).
Tak syak lagi, pernikahan merupakan jalan yang tepat dan sarana yang alami untuk memenuhi kebutuhan seksual pada ke- dua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Dan tak syak juga bahwa pemenuhan hajat ini pada saat lapar yang luar biasa pasti akan lebih menuntut, karena rasa lapar biasanya akan menguasai dan menawan manusia, yang terkadang akan menjerumuskannya ke dalam cara-cara yang menyimpang dan jalan-jalan yang terjal lagi berliku. Ketika manusia "diberontak" oleh rasa lapar, maka pertama- tama dia harus menenangkan rasa laparnya, baik suasana saat dia ingin memakan makanan mendukung atau tidak begitu mendukung, karena rasa lapar tidak dapat ditunda-tunda (harus segera dipuaskan dengan makanan-pent.). Dan dalam banyak kesempatan, pemenuhan kebutuhan seksual jauh mendahului hal-hal lain yang manusia memimpikan untuk memperolehnya pada saat pemuasan kebutuhan itu.
Karena itu, maka pernikahan merupakan solusi yang akan melindungi manusia dari penyimpangan, baik dia mencapai masa kematangan atau tidak, karena manusia terkadang tidak mampu menunggu terkumpulnya dua hal itu karena suatu sebab atau yang lain.
Adapun pernikahan dini yang menurut sebagian orang membawa dampak negatif bagi kehidupan kedua pasangan, karena ketika mereka memasuki kehidupan berumah tangga tidak dibekali pengalaman yang dengannya mereka dapat membangun suatu fondasi untuk gerakan mereka, hubungan mereka, dan proses kesempurnaan di antara mereka, sehingga pernikahan tersebut terkadang gaga1 dan banyak menimbulkan problem bagi kedua pasangan, maka itu suatu celah yang dapat ditutup melalui permintaan bantuan dari pihak keluarga untuk mengarah- kan mereka dan mengawasi gerak-gerik mereka dalam eksperimen ini. Jika hal ini terwujud, boleh jadi mereka akan melalui eksperimen kehidupan berumah tangga yang sukses.
Mengapa Islam tidak mensyaratkan usia kematangan (sinn ar-rusyd) dalam pernikahan, di mana kedua pasangan (pemuda-pemudi) telah mencapai kematangan hidup yang cukup, sehingga mereka dapat mengemban tanggung jawab kehidupan bersama dengan baik?
Sesungguhnya masa1ah kematangan tidak berhubungan dengan usia tententu. Barangkali pemuda atau pemudi mencapai usia kematangan secara undang-undang, yaitu usia 18 tahun, sesuai dengan undang-undang sipil, namun saat itu kedua pasangan belum memperoleh kesadaran tentang kehidupan berumah tangga dan cara menghindari pelbagai problem. Sebagaimana bisa saja dapat disediakan bagi mereka kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka-melaluinya-untuk mensukseskan kehidupan berumah tangga mereka. Oleh karena itu, seandainya kita bersandar kepada usia kematangan yang diharuskan oleh undang-undang untuk mengesahkan pernikahan antara dua orang, maka hal itu tidak merupakan jaminan keberhasilan suatu pernikahan, karena kehidupan berumah tangga pasti memuat banyak kerumitan yang untuk menghadapinya perlu ditunjang adanya para pengawas baik dari dalam lingkungan keluarga atau di luarnya. Mereka (para pengawas) itu membimbing suami-istri dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana mereka mengawasi perjalanan hubungan antara kedua pasangan.
Apabila pernikahan dini dibenarkan karena alasan untuk melindungi manusia dari penyimpangan, maka apakah ia tetap dibenarkan dengan adanya speku1asi mengenai masa depan anak-anak yang lahir darinya, yang merupakan akibat dari ketidakmatangan kedua pasangan sehingga mereka menjadi korban dari eksperimen itu?
Pernikahan dini tidak harus berakibat jatuhnya korban-korban, karena pernikahan tersebut dapat terlaksana di bawah pengawasan kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Seandainya suami dan istri tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan urusan-urusan mereka secara lazim, maka kedua pasangan setelah pernikahan-bisa tetap berada di bawah penjagaan kedua keluarga mereka. Demikianlah, anak-anak yang lahir dari pernikahan prematur, hendaklah tetap berada di bawah pengawasan keluarga orang tua mereka dan tetap berada di dalam lingkungan keluarga. Perihal meminta bantuan kepada pihak keluarga suami-istri untuk mengawasi anak-anak juga terjadi pada pernikahan-pernikahan biasa (tidak prematur), sebagaimana terjadi ketika suami-istri tidak mampu memikul tanggung jawab anak- anak mereka berdua karena adanya sebagian keadaan yang khusus.
Apakah mengorbankan syahwat (seks) lebih utama daripada berspekulasi dengan pendidikan anak-anak?
Pendidikan anak tidak bertentangan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Tujuan dari pernikahan dini adalah menjaga manusia dari penyimpangan dan bukan hanya sekadar pemuasan syahwat, dan ia tidak berlawanan dengan pendidikan yang sehat bagi anak-anak. Maka, orang-orang yang memilih pernikahan dini hendaklah memperhatikan tanggung jawab-tanggung jawab yang dihasilkannya, di antaranya pendidikan anak-anak. Apabila mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu mengemban tanggung jawab pendidikan anak, maka hendaklah mereka membekukan rencana kelahiran anak untuk masa tertentu. Kalau tidak, hendaklah mereka mengorbankan keinginan untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka, atau mereka mempelajari sarana-sarana yang memadai untuk menutup kekurangan ini pada lingkungan keluarga mereka masing-masing.
Islam mendorong terlaksananya pernikahan sedini mungkin, lalu sebaliknya, bagaimana sikapnya terhadap penundaan pernikahan?
Pernikahan merupakan sunatullah yang manusia diciptakan berdasarkannya agar eksperimen kemanusiaanya menjadi sempurna dan kaya dengannya. Pernikahan menjamin-pada tingkat individual-kesatuan emosional, jasadi, dan rohani terhadap orang lain, dan memberinya ketenteraman (as-sakinah) dan ketenangan ( ath-thuma 'ninah) sebagai akibat dari itu, serta memberinya kesempatan turut serta dalam membangun struktur masyarakat yang dia bergabung dengannya dan menyatu di dalamnya. Di samping itu, pernikahan adalah sel sosial dalam jalinan sosial yang umum. Oleh karena itu, meskipun tidak merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu ( wajib 'aint) , namun ia adalah sunah yang betul-betul ditekankan (sunnah muakkadah). Hendaklah manusia tidak meninggalkan pernikahan (tidak mau menikah) atau menunda-nundanya secara emosional, karena hal itu akan mencegahnya dari perolehan sumbangan-sumbangan (hal-hal positif) pernikahan dan akan membawa pengaruh negatif atasnya.
Orang yang menunda-nunda perkawinan akan mengalami problem pendidikan anak yang lahir pada masa tuanya, karena dia tidak mampu untuk mengawasi mereka dengan baik, dan dia akan mengalami ketandusan emosional (cinta) dalam hidupnya sebagai konsekuensi dari kehidupan rumah tangga yang ditinggalkannya dan dia tidak akan merasakan-sebagai pengaruh dari pernikahan-kesuburan rohani, jasadi, dan hayati. Sesungguhnya kerugian yang diderita manusia sebagai akibat dari penundaan masa pernikahan atau pencegahan darinya secara keseluruhan jauh lebih besar daripada keuntungan yang bakal diperolehnya di belakang praktek itu, baik itu karena alasan aspek keuangan atau karena alasan untuk meringankan tanggung jawab-tanggung jawab, yang terakhir ini acapkali didengungkan oleh orang-orang yang menunda-nunda pernikahan.
Manusia diciptakan-berdasarkan fitrah-untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan fisik yang ada pada orang lain. Kebutuhan ini menuntutnya untuk memilih teman hidup yang khusus, yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhannya akan perserikatan (kemitraan), dan meringankan darinya perasaan asing dari lingkungannya.
Sesungguhnya pemikulan tanggung jawab dalam kehidupan bukanlah hal yang tercela. Pada saat tanggung jawab tersebut mengambil sedikit dari waktu dan usaha manusia, maka sebagai gantinya, dia diberi dari dirinya sendiri dan dari pasangan hidupnya hal-hal yang jauh lebih besar dan lebih penting. Jadi, Allah swt menginginkan agar kita menjalankan tanggung jawab kita terhadap diri kita melalui potensi-potensi yang diberikan-Nya kepada kita, dan terhadap orang-orang lain yang kehidupan mereka berkaitan dengan kehidupan kita. Manusia dituntut untuk terbuka terhadap Allah, supaya seluruh kehidupan terbuka di hadapannya dan dia tidak terkena "gangguan" rasa putus asa dalam hidupnya. Hendaklah manusia melihat sisi realitas dalam setiap problem yang dilaluinya dan hendaklah dia tidak tenggelam dalam khayalan dan perasaan yang negatif, dan hendaklah dia berusaha memecahkan masalah yang dihadapinya secara realistis. Sebab, tidak ada persoalan yang tak bisa dipecahkan
Mengingatkan sebagai bahan optimasi kata kunci kontes seo : " Mobil Keluarga Terbaik Di Indonesia " dari World News Today
Komentar :
Posting Komentar